Label

Senin, 04 Februari 2013

Mamaku Idiot ( Downsyndrome ) Part 1


Sesekali kulirik mamaku yang tengah asyik bermain sebuah boneka. Kalau kalian duga mamaku gila, kalian salah besar. Mamaku tidak gila, melainkan memiliki mental terbelakang, idiot atau istilah asingnya, Down Syndrome. Yah, mamaku dilahirkan dengan cacat itu. Cacat mental yang memiliki ciri wajah yang khas dengan mata sipit, ”jembatan” hidung datar dan lebar, dan lidah besar dengan mulut kecil cenderung terbuka.

Sementara aku? Aku adalah anak haram, hasil pemerkosaan seseorang pemuda tak berperasaan yang tega berbuat hal sekeji itu pada mamaku. Entah siapa dia, aku tak pernah tahu, sebab Mama tak pernah lagi mengingat peristiwa itu.
Lalu siapa yang selama ini merawatku sampai di usiaku yang ke-18 tahun ini? Nenek, mama dari mamaku. Nenek yang sangat menyayangi aku, dan bekerja keras mencukupi kebutuhanku dan Mama.



Seorang nenek yang kuat dan tabah, yang selalu memberiku kekuatan di saat teman-temanku mengolok-olokku karena memiliki Mama yang idiot. Atau beberapa teman cowok yang akhirnya urung mendekatiku karena alasan yang sama. Kadang aku menyesal kenapa aku musti dilahirkan dari rahim seorang wanita seperti mamaku. Tapi Nenek selalu menenangkan aku dengan mengatakan,

“Kamu seharusnya bersyukur, Mei, karena kamu bisa lahir dengan sempurna dan sangat cantik, meskipun mama kamu dalam keadaan yang nggak sempurna.”

Namun kini Nenek telah pergi selamanya, meninggalkan aku dan Mama sendiri. Sebuah mobil menabraknya beberapa waktu lalu sepulang dari berjualan nasi di pasar. Aku hanya bisa menangis, karena harus kehilangan seorang nenek yang masih sangat aku butuhkan kehadirannya. Yang jelas aku belum siap merawat Mama sendirian, Mama yang sering membuatku merasa malu, minder, dan marah karena kelakuannya yang terkadang tak masuk akal, menjengkelkan, dan merepotkan, seperti sekarang.

Sudah beberapa hari ini Mama tak mau makan. Setiap suap nasi yang kumasukkan ke mulutnya, selalu disemburkannya kembali, kadang sengaja dia semburkan tepat mengenai wajahku. Atau setiap kuajak tidur siang, malah marah dan mengacak-acak tempat tidur. Tingkahnya benar-benar membuatku kesal.

Belum lagi aku harus cari kerja agar aku dan Mama tetap bisa makan. Lalu kalau begini, siapa yang lebih pantas jadi seorang anak? Aku atau mamaku? Aku merasa kalau kini aku yang harus menjadi mama dari mamaku, mama dari seorang anak yang idiot!

“Hhhh, sabar Mei. Walau bagaimanapun, dia adalah seorang wanita yang rela mempertaruhkan nyawanya untuk melahirkan kamu,” aku berbicara pada diriku sendiri sambil mengusap dada.

Sepertinya memang aku harus mulai belajar untuk menerima mamaku apa adanya, meskipun seluruh dunia menertawaiku.

Kuhela nafasku panjang, lalu kembali menatap koran yang terpapar di hadapanku untuk yang kesekian kalinya dalam beberapa hari ini. Aku berharap kali ini mendapatkan apa yang aku cari, sebuah pekerjaan. Yah, meskipun aku tahu sangatlah susah untuk mendapatkannya apalagi aku hanya mengantongi ijazah SMU.

Tak lama kemudian mataku tertuju pada sebuah lowongan kerja yang menurutku cukup menarik. Sebagai penyanyi di sebuah kafe. Syaratnya cukup mudah, hanya perlu bisa menyanyi, tak perlu sekolah yang tinggi. Lalu aku pun bergegas menulis surat lamaran dan memenuhi semua persyaratannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar