Sore harinya, Alvian tiba-tiba saja datang ke rumah. Entah kenapa kali ini wajahnya terlihat sangat genit, seperti ingin menggodaku. Menggodaku?
“Mei, aku punya tawaran khusus buat kamu,” kata Alvian seraya menyentuh daguku dan menariknya pelan.
“Apa itu, Mas?” tanyaku sambil berkelit. Lalu Alvian duduk di sofa dan menatap ke sekeliling sudut rumah kumuhku.
“Kurasa seorang artis secantik kamu nggak sepantasnya tinggal di gubuk seperti ini. Bagaimana kalau aku tawarkan ke kamu sebuah apartemen mewah, kamu mau?”“Benarkah?” tanyaku tak percaya.“Aku serius, asal…. asal kamu mau melayani aku,” katanya tanpa basa-basi mengejutkanku, sementara tangannya berusaha menggerayangi tanganku.
Apartemen? Memang menggiurkan untukku.
Tapi bila aku dapatkan dengan menjual diriku, itu sama saja dengan menandai keningku dengan kata “MURAHAN” dan aku tak mau itu, yang jelas aku bukan cewek seperti itu. Sejahat-jahatnya aku pada Mama, aku tidak akan pernah mau mempermalukan dia.
“Aku nggak mau. Maaf,” jawabku singkat, seraya mengibaskan tangan Alvian yang mulai nakal.“Kalo dengan Yoga kenapa kamu mau? Dia itu masih kere dibandingin aku, Mei!”
“Tapi aku mencintai dia! Itu beda!” ucapku tegas.
Namun Alvian tetap memaksa dan terus berusaha, dia bilang sangatlah tergila-gila padaku dan ingin memilikiku. Segala ucap rayu dia lontarkan, namun aku tetap tak mau.
Hingga akhirnya dia berbuat nekad, mencoba memperkosaku. Bahkan tubuhnya yang berat kini telah menindihku! Dan aku pun dengan segenap kekuatanku, terus berusaha melawan iblis yang ada di hadapanku, sampai pada akhirnya aku melihat Mama memukuli punggung Alvian dengan sapu, sambil berteriak-teriak parau. Mama sangat histeris, suatu hal yang tak pernah dilakukan sebelumnya.
Alvian berusaha melepaskan diri dari amukan Mama, dan berhasil mengambil sapu itu dari tangan Mama. Lalu, DUGHH!!! Alvian menyodok perut Mama dengan sapu yang dipegangnya sekeras-kerasnya hingga Mama terjatuh tepat di atas meja kaca.
“Mama!!!” Aku bergegas menolongnya, sementara Alvian lari tungggang langgang ketakutan.
Airmataku tak bisa berhenti mengalir, melihat mamaku bersimbah darah terkena pecahan-pecahan kaca. Kulihat mamaku tersenyum dengan wajah khasnya, dan berkata,
“Aku mau tinggal di rumahku. Jangan bawa aku kemana-mana ya.” Sebuah kalimat yang hanya aku yang mampu mengartikannya.
“Tapi aku mau bawa Mama ke rumah sakit, luka Mama sangat parah,” kataku.
Mama menggeleng lalu menghembuskan nafas terakhirnya di pelukanku. Mustahil bukan? Hanya karena kena pecahan kaca, mamaku meninggal!!! Lalu aku pun berniat mengangkat tubuhnya, ternyata salah satu rangka besi meja itu menancap di punggungnya, tepat menembus jantungnya. Aku pun berteriak-teriak histeris.
Kriiing!!! Suara telepon mengejutkanku, dengan tangan berlumuran darah aku mengangkat telepon itu.
“Halo, bisa bicara dengan Mbak Meira? Ini dari panti. Saya mau minta maaf dan memberitahu Mbak, kalo ibu Mbak kabur dan saya tidak tahu ke mana? Apakah beliau sudah sampai di rumah, atau…” Klik. Lalu aku pun kembali menangis.
Yang jelas aku sangat menyesal, telah menyingkirkan Mama dari rumah dan hidupku hanya karena kecacatannya, sementara di balik semua itu tersimpan rasa cinta yang begitu dalam kepadaku, anaknya.
“Mama, maafkan aku.”
***
Kini, aku hanya bisa memandangi setiap sudut ruang pengap yang kotor ini, setelah setahun lalu aku nekad menghabisi nyawa Alvian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar